Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura
dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam
keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan
pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
Etiologi terjadinya efusi pleura bermacam-macam, yaitu:
tuberkulosis paru (merupakan penyebab yang palng sering di
ANATOMI PLEURA
Pleura adalah membra tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis
dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel
mesothelial, jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan
yang sangat tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura
viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma,
dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru
dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini
berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu
pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan
parietalis, diantaranya :
· Pleura visceralis :
- Permukaan luarnya terdiri dari
selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
- Diantara celah-celah sel ini terdapat
sel limfosit
- Di bawah sel-sel mesothelial ini
terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit
- Di bawahnya terdapat lapisan tengah
berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik
- Lapisan terbawah terdapat jaringan
interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a.
Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe
- Menempel
kuat pada jaringan paru
- Fungsinya.
untuk mengabsorbsi cairan. pleura
· Pleura parietalis
- Jaringan
lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan
elastis)
- Dalam
jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a.
Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka
terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n.
Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada
- Mudah
menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya
- Fungsinya
untuk memproduksi cairan pleura
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis
tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi
keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan
kira-kira 16,8 ml (pada orang dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk
reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan
reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun)
maka akan timbul efusi pleura.
Diketahui bahwa cairan masuk kedalam
rongga melalui pleura parietal dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang
sama melalui membran pleura parietal melalui sistem limfatik dan vaskular.
Pergerakan cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi
karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan
kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang
diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan
pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel
mesothelial.
Akumulasi cairan pleura dapat terjadi
bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura
meningkatkan pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum
Starling.Keadaan ni dapat
terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan sindroma vena kava
superior.
2. Tekanan intra pleura
yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi
bronkus atau penebalan pleura visceralis
3. Meningkatnya kadar
protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam
rongga pleura
4. Hipoproteinemia
seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari
kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran
limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik.
Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan
limfe.
ETIOLOGI
A. Berdasarkan Jenis Cairan
Kalau seorang pasien ditemukan menderita
efusi pleura, kita harus berupaya untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam
penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah
menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor
lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui
pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan,
pleura. Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga
kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu
pun dari tiga kriteria ini :
1. Protein
cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan
pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan
pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di dalam
serum.
PARAMETER
|
TRANSUDAT
|
EKSUDAT
|
Warna
BJ
Jumlah set
Jenis set
Rivalta
Glukosa
Protein
Rasio protein T-E/plasma
LDH
Rasio LDH T-E/plasma
|
Jernih
< 1,016
Sedikit
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (= GD plasma)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
|
Jernih, keruh, berdarah
< 1,016
Banyak (> 500 sel/mm2)
PMN < 50%
Negatif
60 mg/dl (bervariasi)
< 2,5 g/dl
< 0,5
< 200 IU/dl
< 0,6
|
Efusi pleura berupa:
a. Eksudat,
disebabkan oleh :
1. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus
coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi
leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala,
demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara
mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
2. Pleuritis karena
bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal
dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas,
Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan
pemberian antibotika ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus
yang terinfeksi keluar dari rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi
penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena
reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa
merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus subpleural yang
robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hemaogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh
rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein
yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada
hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada
pleuritik.
5. Efusi pleura karena
neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae, kelenjar linife,
gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :
Ø Infasi tumor ke pleura, yang
merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler.
Ø Invasi tumor ke kelenjar
limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura, bronkhopulmonary, hillus atau
mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
Ø Obstruksi bronkus,
menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural, sehingga
menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar
glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik
cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle
biopsy).
6. Efusi parapneumoni
adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN
dan pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada
beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir.
Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada
pasien dengan efusi parapneumonik:
Ø Adanya pus yang terlihat
secara makroskopik di dalam kavum pleura
Ø Mikroorganisme terlihat
dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Ø Kadar glukosa cairan pleura
kurang dari 50 mg/dl
Ø Nilai pH cairan pleura
dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh
terlambat karena efusi parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya
dalam waktu beberapa jam saja.
7. Efusi pleura karena
penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma
8. Penyakit AIDS, pada
sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.
b. Transudat, disebabkan oleh :
1. Gangguan
kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio
cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan
sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan
tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah
subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga
filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada
seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi
yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi
pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan
istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang
torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan
osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi
yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan
adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan
langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam
rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar untuk
menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol
asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang
dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau
torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan
efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid.
Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa
adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke
pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah
dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun bilateral. Perpindahan
cairan dialisat dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah
diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan
cairan dialisat.
c. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga
pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25%
kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku
beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai
sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
B. Berdasarkan Kuman Penyebab
1. Mycobacterium
Tuberculosis
a. Bakteriologi
Penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini adalah sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-4 mm dan tebal 03-0,6 mm. Kuman ini tahan terhadap asam
dikarenakan kandungan asam lemak (lipid) di dindingnya. Kuman ini dapat hidup
pada udara kering maupun dingin. Hal ini karena kuman berada dalam sifat
dormant yang suatu saat kuman dapat bangkit kembali dan aktif kembali.
Kuman ini hidup sebagai parasit
intraseluter didalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi
malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman
ini adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian
apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan predileksi penyakit tuberkulosis.
b. Patogenesis
· Tuberkulosis
Primer
Penularan terjadi karena kuman dibatukkan
atau dibersihkan keluar menjadi droplet nudei dalam udara bebas selama 1-2 jam,
tergantung dari ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi terhisap oleh oang sehat, ia akan
menempel pada jalan napas atau paru-paru. Kuman dapat masuk lewat luka pada
kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.
Kuman yang menetap di jaringan paru, ia
tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa
ke organ tubuh lain. Kuman yang bersarang tadi akan membentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Dari
sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju illus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus
(limfadenitis regional). Sarang primer + limfangitis lokal + limfadenitis
regional = kompleks primer. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
1) Sembuh sama
sekali tanpa meninggalkan cacat
2) Sembuh dengan
meninggalkan sedikit bekas, berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hillus
atau kompleks (sarang) Ghon
3) Berkomplikasi
dan menyebar secara:
- Per
kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya
- Secara
bronkogen pada paru ysng bersangkutan maupun paru yang di sebelahnya. Dapat
juga kuman tertelan bersama tertelan besama sputum dan ludah sehingga menyebar
ke usus
- Secara
limfogen, ke organ tubuh lainnya
- Secara
hematogen, ke organ tubuh lainnya
Semua kejadian diatas tergolong ke dalam
perjalanan tuberklosis primer.
· Tuberkulosis
Post-Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(Post-Primer). Tuberkulosis Post-Primer ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah
ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiller paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk
sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni
suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans (sel
besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan
bermacam-macam jaringan ikat.
Bergantung dari imunitas penderita,
virulensi, jumlah kuman, sarang dapat menjadi :
1) Diresorpsi
kembali dan sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut
2) Sarang yang
mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dan menimbulkan jaringan fibrosis. Ada
yang membungkus diri menjadi lebih keras, menimbulkan perkapuran dan akan
sembuh delam bentuk perkapuran.
3) Sarang dini yang
meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis, dan menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan
fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik.
Kavitas dapat :
- Melus
kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan
seperti yang disebutkan terdahulu.
- Memadat dan
membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur
dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi.
- Bersih dan menyembuh, disebut open
heated cavity. Dapat
juga menyembuh dengan membungkus diri dan menjadi kecil. Kadang-kadang berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk seperti bintang
disebut stellate shaped.
Pada penvakit TBC paru, efusi pleura
diduga disebabkan oleh rupturnya fokus subpleural dari jarngan nerotik
perkijuan sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbulkan reaksi hipersensitif tipe lambat. Hal ini didukung dengan
ditemukannya limfossit T, Interleukin-2 dan Interleukin reseptor pada cairan
pleura.
Cara penyebaran lainnya diduga secara
hematogen dan secara perkontinuitatum dari kelenjar-kelenjar getah bening
servikal, rnediastinal, dan dari abses di vertebrae.
Efusi pleura yang disebabkan oleh TBC
dapat juga berupa empyema, yaitu buila terjadi infeksi sekunder karena adanya
fitula bronchopulmonal, atau berupa chylothoraxs yaitu bila terdapat penekanan
kelenjar atau tarikan fibrin pada duktus thoracicus. Efusi yang disebabkan oleh
TBC biasanya unilateral pada hemithoraxs kiri, jarang yang masif. Pada
thoraxosentesis ditemukan cairan berwarna kuning jernih, mengandung > 3 gr
protein/ 100 ml, bila cairan berupa darah, serosanguineous atau merah muda
diagnosis TBC harus diragukan.
c. Gejala-gejala
Tuberculosis
· Batuk berdahak 3
minggu atau lebih
· Sering disertai
darah, sesak nafas, nyeri dada.
· Gejala umum:
badan lemah, nafsu makan turun, berat badan turun, malaise, berkeringat malam,
demam hilang timbul tidak terlalu tinggi.
· Bisa muncul
gejala TBC ekstra paru: pembesaran kelenjar, gibus, osteomielitis, meningitis.
d. Diagnosis
Tuberculosis pada orang dewasa
Dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak SPS diulang.
· Kalau
hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosa sebagai penderita TBC
BTA positif.
· Kalau
hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak hasilnya
negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kontrimoksazol atau Amoksisillin)
selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap
mencurigakan TBC, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
· Kalau
hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.
· Kalau
hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TBC.
· Bila
hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif,
Rontgen positif.
· Bila
hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.
e. Pemeriksaan
Fisik
· Tanda-tanda
infiltrat : redup, bronkial
· Dahak di saluran
napas : ronki basah, ronki kering
· Penyempitan :
wheezing, penarikan, pendorongan, kaviitas, atelektase
· Efusi,
pnemotoraks dan schwarte
· Tanda-tanda
kelainan ekstra paru seperti scrofuloderma, gibus, osteomiditis, meningitis dan
lain-lain.
f. Komplikasi TBC
· Hemoptisis
berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat menglakibatkan kematian
karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
· Kolaps
dini lobus akibat retraksi broakial
· Bronkiektasis (pelebaran
bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan
atau reahtif) pada paru.
· Pneumothorax (adanya
udara didalam ronaga pleura) spontan kolaps spontan karena kerusakan jaringan
paru.
· Penyebaran
infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
· Insufislensi Kardiopulmoner (Cardiopulmonary
Insuficiency).
· Efusi pleura
g. Tujuan
Pengobatan
· Menyembuhkan
penderita
· Mencegah kematian
· Mencegah
kekambuhan
· Menurunkan
tingkat penularan
h. Prinsip Pengobatan
· Kombinasi
beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya
semua kuman dapat dibunuh.
· Dosis tahap intensif
dan tahap lanjutan ditelan sebagau dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut
kosong. Apablia panduan obat ayang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan
jangka waktu pengobatan), kuman akan berkembang menjadi resisten.
· Pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung untuk menjamin kepatuhan penderita menelan
obat. (DOTS = Directly Observed Treatment Short
Course) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
i. Cara
Pengobatan TBC
Pengobatan diberikai dalam 2 tahap, yaitu
:
· Intensif
Obat yang diberikan setiap hari. Bila
diberikan secara tepat biasanya penderita yang menular menjadi tidak menular
dalam jangka waktu 2 minggu. Sebagian penderita dengan BTA (+) menjadi (-) pada
akhir pengobatan tahap intensif
· Lanjutan
Jenis obat lebih sedikit namun dalam
jangka waktu lebih lama.
j. Jenis dan Dosis OAT
· Isoniazid/INH (H)
Bakterisid. Efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif.
Dosis harian = 5 mg/kgBB
Dosis intermitten 3 kali seminggu 10
mg/kgBB
· Rimfampisin (R)
Bakterisida, membunuh kuman semi dormant
yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis harian maupun dosis intermitten
3 kali seminggu = 10 mg/kgBB
· Pirazinamid
(Z)
Bakterisida, membunuh kuman di dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian = 25 mg/kgBB, dosis intermitten 3 kali
seminngu 35 mg/kgBB
· Etambutol
(E)
Bakteriostatik. Dosis harian yang
dianjurkan 25 mg/kgBB
Dosis intermiten 3 kali seminggu = 30
mg/kgBB
· Streptomisin
(S)
Bakterisida. Dosis harian ataupun dosis
intermitten 3 kali seminggu = 15 mg/kgBB. Penderita berumur sampai 60 tahun,
dosisnya 0,75 mg/kgBB. Penderita berumur > 60 tahun dosisnya 0,5 mg/kgBB.
k. Panduan OAT di
Indonesia
Kategori I
: 2R7H7E7Z7/4H3R3
Tahap Intensif : 2 bulan:
Isomazid 1
x 300 mg setiap hari
Rifampsin 1
x 450 mg setiap hari
Pirazinamid 3
x 500 mg setiap hari
Ethambutol 3
x 250 mg setiap hari
Tahap lanjutan : 4 bulan:
Isoniazid 2
x 300 mg 3 x seminggu
Rifampisin 1
x 450 mg.3 x seminggu
Diberikan untuk :
· Penderita
baru TBC paru BTA (+)
· Penderita
TBC paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat
· Penderita
TBC ekstra paru berat
Kategori II :
2R7117E7Z7S7/IR7H7E7Z7/5R3H3E3
Tahap intensif : 2 bulan:
Isoniazid 1
x 300 mg setiap hari
Rifampisin 1
x 450 mg setiap hari
Pirazinamid 3
x 500 mg setiap hari
Ethambutol 3
x 250 mg setiap hari
Streptomisin
Inj. 0,75
gr setiap hari
1
bulan Isonlazid 1
x 300 mg setiap hari
Rifampisin 1
x 450 mg setiap hari
Pirazinamid 3
x 500 mg setiap hari
Ethambutol 3
x 250 mg setiap hari
Tahap lanjutan: 5 bulan:
Isoniazid 2
x 300 mg 3 x seminggu
Rifampisin 1
x 450 mg 3 x seminggu
Ethambutol 3
x 250 mg 3 x seminggu
Diberikan untuk :
· Penderita
kambuh
· Penderita
gagal
· Penderita
dengan pengobatan setelah lalai
Kategori III: 2R7H7Z7/4R3H3
Tahap intensif: 2
bulan: Isoniazid 1
x 300 mg setiap hari
Rifampisin 1
x 450 mg setiap hari
Pirazinamid 3
x 500 mg setiap hari
Tahap lanjutan: 4 bulan:
Isoniazid 2
x 300 mg 3 x seminggu
Rifampisin 1
x 450 mg 3 x seminggu
Diberikan untuk :
· BTA (-) dan Rontgen (+) sakit
ringan
· Penderita
TBC ekstra ringan, yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis exudativa unilateral,
TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang). sendi dan kelenjar adrenal.
Obat Sisipan (HRZE)
Bila pada akhirnya tahap intensif
pengobatan penderita baru BTA dengan kategori I atau BTA pengobatan ulang
dengan kategori II, hasil dahak masih BTA (+), berikan obat sisipan (RHEX)
setiap hari selama 1 bulan.
2. Non Myobacterium
Tubercualaosis
Bisa dikarenakan :
a. Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenza
b. Clostridium
perringens, Bacteroides fragilis
c. Jamur :
Histoplasma siscovidiodomycosis, Aspergillus
d. Virus dan Mycoplasma
pneumoni
e. Parasit, Amoeba
f. Hydatul disease
g. SLE
h. Penyakit rheumatoid
i. Asbestosis
j. Obat-obatan:
Bromocriptine, methysergide, dan trolene sodium, nitrofuratoin
k. Neoplasma
l. Dekompensasi
jantung
m. Trauma
n. Idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah
dilakukan prosedur diagnostik secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis,
analisis cairan, biopsi pleura, dll), kadang-kadang masih belum bisa didapatkan
diagnosis yang pasti. Keadaan ini dapat digolongkan dalam efusi pleura
idiopatik. Hasil pemeriksaan dengan operasi pun kadang-kadang hanya menunjukkan
pleura yang menebal karena pleuritis yang non spesifik.
Cairan pleuranya kebanyakan bersifat
eksudatif dan berisi beberapa jenis sel. Penyebab efusi pleura ini banyak yang
beluam jelas, tapi diperkirakan karena adanya infeksi, reaksi
hipersensitivitas, kontaminasi dengan asbestos, dll.
Pada daerah-daerah dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi (negara-negara yang sedang barkembang), efusi pleura
idiopatik ini kebanyakan dianggap sebagai pleuritis tuberkulosa,
sedangkan pada negara-negara yang maju sering dianggap sebagai pleuritis karena
penyakit kolagen atau neoplasma.
GEJALA EFUSI PLEURA
Dan anamnesa didapatkan :
1. Sesak nafas
2. Rasa berat pada dada
3. Berat badan menurun
pada neoplasma
4. Batuk berdarah pada
karsinoma bronchus atau metastasis
5. Demam subfebris
pada TBC, dernarn menggigil pada empilema
6. Ascites pada sirosis
hepatis
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada
sisi yang sakit)
1. Dinding dada lebih
cembung dan gerakan tertinggal
2. Vokal fremitus menurun
3. Perkusi dull sampal
flat
4. Bunyi pernafasan
menruun sampai menghilang
5. Pendorongan
mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada treakhea
Nyeri dada pada pleuritis :
Simptom yang dominan adalah sakit yang
tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura
visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang
inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah
lain :
1. Iritasi dari diafragma
pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis intercostal
terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central
diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan nyeri menjalar
ke daerah leher dan bahu.
PENGOBATAN EFUSI PLEURA
1. Pengobatan Kausal
· Pleuritis TB
diberi pengobatan anti TB. Dengan pengobatan ini cairan efusi dapat
diserap kembali untuk menghilangkan dengan cepat dilakukan thoraxosentesis.
· Pleuritis karena bakteri piogenik diberi
kemoterapi sebelum kultur dan sensitivitas bakteri didapat, ampisilin 4 x 1
gram dan metronidazol 3 x 500 mg. Terapi lain yang lebih penting adalah
mengeluarkan cairan efusi yang terinfeksi keluar dari rongga pleura dengan
efektif.
2. Thoraxosentesis,
indikasinya :
· Menghilangkan
sesak yang ditimbulkan cairan
· Bila terapi
spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal
· Bila terjadi
reakumulasi cairan
· Kerugiannya:
hilangnya protein, infeksi, pneumothoraxs.
3. Water Sealed Drainage
Penatalaksanaan dengan menggunakan WSD
sering pada empyema dan efusi maligna.
Indikasi WSD pada empyema :
· Nanah sangat
kental dan sukar diaspirasi
· Nanah terus
terbentuk setelah 2 minggu
· Terjadinva
piopneumothoraxs
4. Pleurodesis
Tindakan melengketkan pleura visceralis
dengan pleura parietalis dengan menggunakan zat kimia (tetrasiklin, bleomisin,
thiotepa, corynebacterium, parfum, talk) atau tindakan pembedahan. Tindakan
dilakukan bila cairan amat banyak dan selalu terakumulasi kembali.
PENCEGAHAN
Lakukan pengobatan yang adekuat pada
penyakit-penyakit dasarnya yang dapat menimbulkan efusi pleura. Merujuk
penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap bila diagnosa kausal belum dapat
ditegakkan.
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan
pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru.
Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan
membatasi peregangan paru selama inhalasi
Terdapat empat tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura
1. Cairan serus (hidrothorax)
2. Darah (hemothotaks)
3. Chyle (chylothoraks)
4. Nanah (pyothoraks atau empyema
Diagnosis
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanya 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam. Apabila cairan yang terakumulasi lebih dari 500 ml, biasanya akan menunjukkan gejala klinis seperti penurunan pergerakan dada yang terkena efusi pada saat inspirasi, pada pemeriksaan perkusi didapatkan dullness/pekak, auskultasi didapatkan suara pernapasan menurun, dan vocal fremitus yang menurun.
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
1. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan glucose
2. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri
3. Pemeriksaan hitung sel
4. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor local yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan
Etiologi
Penyebab paling sering efusi pleura transudatif di USA adalah oleh karena penyakit gagal jantung kiri, emboli paru, dan sirosis hepatis, sedangkan penyebab efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri, keganasan (ca paru, ca mamma, dan lymphoma merupakan 75 % penyebab efusi pleura oleh karena kanker), infeksi virus.
Tuberkulosis paru merupakan penyebab paling sering dari efusi pleura di Negara berkembang termasuk Indonesia. Selain TBC, keadaan lain juga menyebabkan efusi pleura seperti pada penyakit autoimun systemic lupus erythematosus (SLE), perdarahan (sering akibat trauma). Efusi pleura jarang pada keadaan rupture esophagus, penyakit pancreas, anses intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (asites, dan efusi pleura karena adanya tumor ovarium).
Penatalaksanaan
Penatalaksasnan tergantung pada penyakit yang mendasari terjasinya efusi pleura. Aspirasi cairan menggunakan jarum dapat dilakukan untuk mengeluarkan cairan pleura, apabila jumlah cairan banyak dapat dilakukan pemasangan drainase interkostalis atau pemasangan WSD. Efusi pleura yang berulang mungkin memerlukan tambahan medikamentosan atau dapat dilakukan tidakan operatif yaitu pleurodesis, dimana kedua permukaan pleura ditempelkan sehingga tida ada lagi ruangan yang akan terisi oleh cairan.
)
Terdapat empat tipe cairan yang dapat ditemukan pada efusi pleura
1. Cairan serus (hidrothorax)
2. Darah (hemothotaks)
3. Chyle (chylothoraks)
4. Nanah (pyothoraks atau empyema
Diagnosis
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanya 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam. Apabila cairan yang terakumulasi lebih dari 500 ml, biasanya akan menunjukkan gejala klinis seperti penurunan pergerakan dada yang terkena efusi pada saat inspirasi, pada pemeriksaan perkusi didapatkan dullness/pekak, auskultasi didapatkan suara pernapasan menurun, dan vocal fremitus yang menurun.
Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
1. Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan glucose
2. Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri
3. Pemeriksaan hitung sel
4. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor local yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan
Etiologi
Penyebab paling sering efusi pleura transudatif di USA adalah oleh karena penyakit gagal jantung kiri, emboli paru, dan sirosis hepatis, sedangkan penyebab efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri, keganasan (ca paru, ca mamma, dan lymphoma merupakan 75 % penyebab efusi pleura oleh karena kanker), infeksi virus.
Tuberkulosis paru merupakan penyebab paling sering dari efusi pleura di Negara berkembang termasuk Indonesia. Selain TBC, keadaan lain juga menyebabkan efusi pleura seperti pada penyakit autoimun systemic lupus erythematosus (SLE), perdarahan (sering akibat trauma). Efusi pleura jarang pada keadaan rupture esophagus, penyakit pancreas, anses intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (asites, dan efusi pleura karena adanya tumor ovarium).
Penatalaksanaan
Penatalaksasnan tergantung pada penyakit yang mendasari terjasinya efusi pleura. Aspirasi cairan menggunakan jarum dapat dilakukan untuk mengeluarkan cairan pleura, apabila jumlah cairan banyak dapat dilakukan pemasangan drainase interkostalis atau pemasangan WSD. Efusi pleura yang berulang mungkin memerlukan tambahan medikamentosan atau dapat dilakukan tidakan operatif yaitu pleurodesis, dimana kedua permukaan pleura ditempelkan sehingga tida ada lagi ruangan yang akan terisi oleh cairan.
)
TBC
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.
2. Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.
Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.
3. Proses Penularan
Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.
Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).
4. Insiden
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang sangat epidemik karena kuman mikrobakterium tuberkulosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Program penaggulangan secara terpadu baru dilakkan pada tahun 1995 melalui strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemoterapy), meskipun sejak tahun 1993 telah dicanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis. Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif).
Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita dengan kematian tiga juta orang (WHO, 1997). Di negara-negara berkembang kematian karena penyakit ini merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95 % penyakit tuberkulosis berada di negara berkembang, 75 % adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Tuberkulosis juga telah menyebabkan kematian lebih banyak terhadap wanita dibandingkan dengan kasus kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Di indonesia pada tahun yang sama, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit infeksi saluran pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun menjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000. secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis dengan BTA positif.
5. Anatomi dan Fisiologi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam. rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. (rongga) hidung. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam. rongga hidung. Farinx (tekak) ; adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka ‘letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal).
Laringx (tenggorok) terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata servikals dan masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligarnen dan membran.
Trachea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx sarnpai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.
Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.
Proses fisiologi pernafasan dimana 02 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan C02 dikeluarkan keudara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu : (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) dan antara darah sistemik dan sel.-sel jaringan (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus. (3) Reaksi kimia dan fisik dari 02 dan C02 dengan darah respimi atau respirasi interna menipak-an stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk- mendapatkan energi, dan C02 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru (4) Transportasi, yaitu. tahap kcdua dari proses pemapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara. alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi. dari unit pulmonary harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru.
Secara garis besar bahwa Paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut:
(1) Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer kedarah vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari alveoli keudara atmosfer. (2) menyaring bahan beracun dari sirkulasi (3) reservoir darah (4) fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas
5. Patofisiologi
Port de’ entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.
6. Manifestasi Klinik
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
Gejala klinis Haemoptoe:
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
2. Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
3. Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
6. Test Diagnostik
Foto thorax PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiology standar. Jenis pemeriksaan radiology lain hanya atas indikasi Top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.
Karakteristik radiology yang menunjang diagnostik antara lain :
a. Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.
b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)
c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru
d. Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu
e. Bayangan bilier
Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC dari dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.
Pemeriksaan biasanya lebih sensitive daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.
Pemeriksaan sputum adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan TBC paru di Indonesia.
8. Klasifikasi
Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.
Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1. Dengan atau tanpa gejala klinik
2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif
2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.
d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).
9. Penanganan Medik
Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH.
Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:
- Adanya komitmen politis berupa
dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.
- Diagnosis TB melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang
lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di
unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.
- Pengobatan TB dengan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap
hari.
- Kesinambungan ketersediaan
paduan OAT jangka pendek yang cukup.
- Pencatatan dan pelaporan yang
baku.
1. Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis paru (Doengoes, 2000) ialah sebagai berikut :
1. Riwayat PerjalananPenyakit
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.
b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
a. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.
b. Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
c. Pernah berobat tetapi tidak teratur.
d. Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.
e. Daya tahan tubuh yang menurun.
f. Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.
3. Riwayat Pengobatan Sebelumnya:
a. Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.
b. Jenis, warna, dosis obat yang diminum.
c. Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.
d. Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
4. Riwayat Sosial Ekonomi:
a. Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.
b. Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.
5. Faktor Pendukung:
a. Riwayat lingkungan.
b. Pola hidup.
Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur, kebersihan diri.
c. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
6. Pemeriksaan Diagnostik:
a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.
b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam).
c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.
e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f. Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan Tuberkulosis paru adalah sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau
sekret darah, Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan
permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang
kental, Edema bronchial.
3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan
tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan
akibat infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan,
Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan:
Kelelahan, Batuk yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia,
Penurunan kemampuan finansial.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan: Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat
tidak lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif
4. Rencana
KeperawatanAdapun rencana keperawatan yang ditetapkan berdasarkan diagnosis keperawatan yang telah dirumuskan sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
Rasional: Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.
Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa.
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
h. Bantu inkubasi darurat bila perlu.
Rasional: Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik. dengan edema laring atau perdarahan paru akut.
2. Gangguan pertukaran gas
Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala distress pernapasan.
Intervensi
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
Rasional: Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e. Monitor GDA.
Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.
f. Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi
Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.
Intervensi
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Monitor temperatur.
Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.
Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.
Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.
j. Monitor sputum BTA
Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.
4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan: Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Anjurkan bedrest.
Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.
Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.
j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
k. Berikan antipiretik tepat.
Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.
Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi
a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.
Rasional: Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.
Rasional: Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan membantu mengencerkan dahak.
d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
e. jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
f. jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah
Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
i. Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan menyangkal.
Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme koping.
j. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
k. Anjurkan untuk berhenti merokok.
Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan pernapasan/ bronchitis.
l. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.
5. Evaluasi
a. Keefektifan bersihan jalan napas.
b. Fungsi pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.
c. Perilaku/pola hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi.
d. Kebutuhan nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.
e. Pemahaman tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar