BAB
II
Tinjauan
Teoritis
OTITIS
MEDIA SUPURATIF KRONIS
I. KONSEP DASAR
A.
Anatomi & Fisiologi Sistem Pendengaran dan Keseimbangan
1.
Telinga
luar dan tengah
Telinga luar menyalurkan gelombang suara ke meatus
auditorius eksternus. Pada beberapa hewan, telinga dapat bergerak seperti
antenna radar yang mencari suara. Di meatus, kanalis auditorius esksternus
berjalan ke dalam menuju membrane timpani ( gendang telinga ).
Telinga tengah adalah rongga berisi udara di dalam
tulang temporalis yang terbuka melaui tuba audioturius ( eustachius ) ke naso
faring dan melaui nasofaring ke luar. Tuba biasanya tertutup, tetapi selama
mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan udara di
kedua sisi gendang telinga seimbang. Tiga tulang pendengaran, yaitu maleus,
inkus, dan stapes, terletak di telinga tengah. Manubrium ( tangkai maleus )
melekat ke belakang membrane timpani. Bagian kepala tulang ini melekat pada
dinding telinga tengah, dan tonjolannya yang pendek melekat ke inkus, yang
kemudian bersendi dengan bagian kepala stapes. Stapes diberi nama demikian
karena mirip dengan sanggurdi. Lempeng kakinya ( foot plate ) didekatkan oleh
ligamentum anulare ke dinding fenestra ovalis. Dua otot rangka kecil, tensor
timpani dan stapedius, juga terletak di telinga tengah. Kontraksi otot yang
pertama menarik manibrum meleus ke medial dan mengurangi getaran di membran
timpani, kontraksi otot stapedius menarik lempeng kaki stapes menjahui fenestra
ovalis.
2.
Telinga
dalam
Telinga dalam atau ( labirin, rumah siput ) terdiri
dari dua bagian, satu berada di dalam yang lainnya. Labirin tulang adalah
serangkaian saluran di dalam bagian pertosa tulang temporalis. Di dalam saluran
– saluran ini terdapat labirin membranosa yang dikelilingi oleh cairanj yang
disebut perilimfe. Struktur membranosa ini kurang mirip dengan bentuk saluran
tulang. Saluran tulang terisi oleh cairan yang disebut endolimfe, dan tidak
terdapat hubungan di antara ruang – ruang yang terisi oleh endolimfe dengan
yang terisi oleh perilimfe.
3.
Koklea
Bagian koklea labirin merupakan saluran melingkar
yang pada manusia panjangnya 35 mm dan membentuk 23/4 kali putaran. Disepanjang
struktur ini terdapat membrane basilaris dan membrane reissner yang membaginya
memjadi 3 ruang ( skala ). Skala vestibule di bagian atas skala timpani di
bagian bawah mengandung perilimfe dan berhubungan satu sama lain di apeks
koklea melalui lubang kecil disebut helikotremia. Di dasar koklea, skala
vestibuli berakhir di fenestra ovalis, yang tertutup oleh lempeng kaki stapes.
Skala timpani berakhir di fenestra rotundum, yakni foramen di dinding medial telinga
tengah yang tertutup oleh memmbran timpani sekunder yang lentur. Skala media,
dan ruang koklea tengah, bersambungan dengan dua skala lainnya.
4.
Organ
corti
Organ corti, struktur yang mengandung sel rambut
merupakan reseptor pendengaran yang terletak di membrane basilaris. Organ ini
berjalan di apeks atau ke dasar koklea, dan dengan demikian bentuknya seperti
spiral. Tonjolan sel rambut menembus lamina retikularis yang keras dan
berbentuk seperti membrane. Lamina ini di tunjang oleh pilar corti. Sel rambut
tersusun dalam empat baris : tiga baris sel rambut luar yang terletak di
lateran terhadap terowongan yang di bentuk oleh pilar corti, dan satu baris sel
rambut dalam yang terletak disebelah medial terhadap terowongan. Di setiap
koklea manusia terdapat 20.000 sel rambut luar dan 3500 sel rambut dalam.
Terdapat membrana tektoria yang tipis, liat, tetapi elastic dan menutupi
barisan – barisan sel rambut. Ujung sel rambut luar terbenam didalamnya, tetapi
ujung sel rambut dalam tidak. Badan sel neuron aferen yang menyebar di sekitar
dasar sel rambut terletak di ganglion spiralis di dalam modiolus, bagian tengah
yang bertulang tempat koklea melingkar. Sembilan puluh sampai 95% neuron aferen
ini mempersarafi sel rambut dalam hanya 5 – 10% yang mempersarafi sel rambut
luar yang jumlahnya lebih banyak, dan setiap neuron mempersarafi beberapa sel
luar ini. Sebaliknya, sebagian besar serabut aferen di saraf auditorius
berakhir di sel rambut luar dan bukan sel rambut dalam. Akson neuron aferen
yang mempersarafi sel rambut membentuk bagian auditorius ( koklea ) saraf
kranialis ke delapan.
Di koklea, terdapat taut erat di antara sel rambut
dan dinding falang di dekatnya yang mencegah indolimfe mencapai dasar sel. Namun, membrane basilaris
relative permeable terhadap perlimfe di skala timpani, dan akibatnya,
terowongan organ corti dan dasar sel rambut di basahi oleh perlimfe. Karena
terdapat taut erat yang serupa, susunan sel rambut di bagian lain telinga dalam
juga serupa, yaitu tonjolan sel rambut dibasahi oleh endolimfe, sementara dasarnya
dibasahi oleh perlimfe.
5.
Kanalis
semisirkularis
Di kedua sisi kepala, kanalis semisirkularis saling
tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis – kanalis ini terletak pada 3
bidang ruangan. Di dalam kanalis tulang, terdapat kanalis membranosa yang
terbenam dalam parilimfe. Struktur reseptor, Krista ampularis, terletak di
ujung tiap – tiap kanalis membranosa yang melebar ( ampula ). Setiap krista
terdiri dari sel rambut dan sel sustentakularis yang dilapisi oleh pemisah
gelantinosa ( kapula ) yang menutup ampula. Tonjolan sel rambut terbenam di
dalam kapula, dan dasar sel rambut berkontak erat dengan serabut aferen bagian
vestibularis saraf kranialis ke delapan.
6.
Ultrikulus
& sakulus
Di dalam tiap – tiap labirin membranosa, di lantai ultrikulus,
terdapat organ otolitik (
macula ). Macula lain terletak di dinding sakulus dengan posisi semi ventrikal.
Macula mengandung sel sustentakularis dan sel rambut, dipayungi membrane
otolitik tempat terbenamnya Kristal – Kristal kalsium karbonat. Pada manusia
otolit, yang juga dikenal sebagai otokonia atau debu telinga, memiliki panjang
3 – 19 um dan lebih padat dibandingkan dengan endolimfe. Tonjolan sel rambut
terbenam di dalam membran. Serabut – serabut saraf dari sel rambut bergabung dengan
serabut – serabut dari Krista di bagian ventibularis saraf kranialis ke
delapan.
Jalur sentral
Serabut aferen di bagian auditorik saraf kranialis
ke delapan berakhir di nucleus koklearis dorsal dan ventral. Dari sini, implus
pendengaran berjalan melalui berbagai rut eke kolikulus inferior, pusat untuk
reflex pendengaran, dan melalui korpus genikulatum medial di thalamus ke
korteks auditorik. Implus lain masuk ke formasio retikularis. Informasi dari
kedua telinga di masing – masing olive superior, dan di tingkat yang lebih
tinggi, sebagian besar neuron berespons terhadap masukan dari kedua telinga. Di
korteks auditorik primer, sebagian besar neuron berespons terhadap masukan dari
kedua telinga, tetapi mungkin juga terdapat deretan sel yang dirangsang oleh
masukan dari telinga ipsilateral. Area asosiasi pendengaran yag terletak dekat
dengan area penerima pendengaran primer tersebar luas. Berkas olivokolekleris (
olivococlear bundle ) adalah berkas serabut eferen yang mencolok di tiap – tiap
serabut auditorius yang berasal dari kompleks olivarius superior ipsi lateral
serta kontralateral dan berakhir terutama di sekitar dasar sel rambut luar
organ Corti.
Badan sel dari 19.000 neuron yang mempersarafi
Krista dan macula di tiap – tiap sisi terletak di ganglion vestibularis. Tiap
–tiap saraf vestibularis berakhir di keempat bagian nucleus vestibularis
ipsilateral dan di lobus flokulonodularis serebelum serabut – serabut dari
kanalis semi serkularis terutama berakhir di bagian superior dan medial nucleus
vestibularis dan proyeksi terutama ke inti – inti yang mengontrol ke gerakan
mata. Serabut serabut dari utrikulus dan sakulus terutama berakhir di bagian
lateral ( nucleus deiter ), yang berproyeksi ke medulla spinalis. Serabut –
serabut ini juga berakhir di neuron yang berproyeksi ke serebelum dan formasio
retikularis. Nucleus vestibularis juga berproyeksi ke thalamus, dan dari tempat
ini ke kedua bagian korteks somatosensorik primer.
7.
Sel
rambut
Struktur
Seperti dinyatakan diatas, reseptor sensorik di
telinga terdiri dari 6 kelompok sel rambut di labirin membranosa. Sel rambut di
organ Corti menyalurkan sinyal pendengaran, sel rambut di utrikulus menyalurkan
sinyal percepatan horizontal. Sel rambut di sakulus menyalurkan sinyal
percepatan ventrikal, dan satu kelompok di masing – masing dari ketiga kanalis
semikularis menyalurkan sinyal percepatan rotasi. Tiap – tiap sel terbenam di
epitel yang terbentuk oleh sel penunjang atau sustentakuler, dengan ujung basal
berkontak erat dengan neuron aferen. Dari ujung apeks muncul rambut atau
tonjolan ( prosesus ) berbentuk batang sebanyak 30 – 150 buah.
Kecuali di koklea, slah satu tonjolan ini,
kinosilium, adalah silia sejati tetapi tidak motil dengan Sembilan pasang
mikrotubulus yang mengelilinginya dan sepasang mikrotubulus tengah. Kinosilium
adalah salah satu tonjolan yang paling besar dan memiliki ujung yang tumpul.
Pada mamalia dewasa, kinosilium tidak terdapat pada sel rambut koklea. Namun,
tonjolan lain, yang disebut stereosilia, terdapat di semua sel rambut. Stereosilia
memiliki inti yang terdiri dari filament aktin yang sejajar. Aktin dilapisi
oleh berbagai isoform myosin. Didalam sekelompok tonjolan pada tiap – tiap sel
terdapat susunan yang teratur. Di sepanjang sumbu yang menuju kinosilium,
stereosilia menjadi semakin tinggi, di sepanjang sumbu tegak lurus, semua
stereosilia tingginya sama.
Masking
Telah diketahui bahwa adanya satu suara akan
menurunkan kemampuan seseorang untuk mendengar suara lain. Fenomena ini dikenal
sebagai masking ( penyamaran ). Fenomena ini diperkirakan disebabkan oleh
refrakter relative atau absolute pada reseptor dan serabut saraf auditorik yang
sebelumnya terangsang terhadap rangsangan lain. Tingkat suara yang menutupi
suara lain berkaitan dengan nadanya. Kecuali pada lingkungan yang sangat kedap
suara, efek penyamaran suara latar akan meningkatkan ambang pendengaran dengan
besaran tertentu dan dapat diukur.
Transmisi
suara
Telinga mengubah gelombang suara dilingkungan
eksternal menjadi potensial aksi di saraf pendengaran. Gelombang diubah oleh
gendang telinga dan tulang pendengaran menjadi gerakan lempeng kaki stapes.
Gerakan gelombang ini menimbulkan gelombang didalam cairan telinga dalam. Efek
gelombang pada organ Corti menimbulkan potensial aksi di serabut saraf.
Fungsi membran timpani dan tulang
pendengaran
Sebagai respons terhadap perubahan tekanan yang
dihasilkan oleh gelombang suara di permukaan luarnya, membran timpani bergerak
keluar masuk. Dengan demikian, membran berfungsi sebagai resonator yang
menghasikan ulang getaran dari sumber suara. Membran ini berhenti bergetar
hampir segera setelah gelombang suara berhenti, yaitu membran ini mengalami
peredaman kritis ( critically damped ) yang hampir total. Gerakan membran
tempani di salurkan ke manubreum maleus. Maleus bergoyang pada sumbu melalui
taut tonjolan panjang dan pendek sehingga tonjolan pendek menayalurkan
manubreum ke inkus. Inkus bergerak ke sedemikian rupa ke bagian sehingga
getaran diteruskan ke bagian ke kepala stapes. Pergerakan ke kepala stapes
menyebabkan lempeng kakinya bergerak k menuju mundurseperti pintu yang berngsel
di tepi posterior fenestra ovalis. Dengan demikian tulang – tulang pendengaran
berfungsi sebagai system pengungkit yang mengubah getaran resonan membran
timpani menjadi gerakan stapes terhadap skala vestebuli koklea yang berisi
perelimfe. System ini mningkatkan tekanan suara yang tiba di fenestra ovalis,
karena efek pengungkit maleus dan inkus melipat gandakan gaya 1,3x lebih kuat
dan luas membran timpani jauh lebih besar dibandingkandengan luas lempng kaki
stapes. Sebagian ebergu suara akan hilang akibat peristensi, tetapi telah
diperhitungkan bahwa,pada frekuensi dibawan 3000hz, 60% energy suara yang jatuh
di membran tempani akan ditransmisikan ke cairan di dalam keoklea.
Reflek timpani
Apabila otot telinga tengah tensor timpani dan
stapedius berkontraksi, manubrium maleus akan tertarik ke dalam dan lempeng
kaki stapes terdorong keluar. Hal ini akan menurunkan transmisi suara. Suara
keras akan mencetuskan reflex kontraksi pada otot – otot ini secara umum
disebut reflex timpani. Fingsinya bersifat proyektif, yakni mencegah rangsangan
berlebihan pada reseptor pendengaran yang dihasilkan oleh gelombang suara yang
kuat. Namun, waktu reaksi untuk refleks ini adalah 40 -160 mdet sehingga reflex
ini tidak dapat melindungi telinga dari rangsangan kuat yang singkat seperti
yang dihasilkan oleh suara tembakan.
Hantaran tulang dan udara
Hantaran ( konduksi ) gelombang suara ke cairan di
telinga dalam melaui membran timpani dan tulang pendengaran, yang merupakan
jalur utama untuk pendegaran normal, disebut hantaran osikular. Gelombang suara
juga mencetuskan getaran membran timpani sekundr yang menutup fenestra
retundum. Proses ini yang tidak penting untuk pendengaran normal, adalah
hantaran udara. Hantaran tipe ke 3, hantaran tulang, adalah transmisi getaran
dari tulang tengkorak ke cairan telinga dalam. Hantaran tulang yang cukup besar
teradi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar
langsung ke tengkorak. Jalur ini juga berperan dalam penyaluran suara yang
sangat keras.
Fungsi sel rambut dalam dan luar
Sel rambut dalam dalam adalah sel sensorik utama
yang menghasilkan potensial aksi di saraf pendengaran, dan diperkirakan sel ini
dirangsang oleh gerakan cairan. Di pihak lain, sel rambut luar mmiliki fungsi
berbeda. Sel ini berespons terhadap suara, seperti sel rambut dalam, tetapi
depolarisasi menyebabkan nya memendek dan hiperpolarisasi menyebabkan nya
memanjang. Sel ini melakukannya diatas bagian membran basialis yang fleksibel,
dan gerakan ini sedikit banyak meningkatkan amplitude dan kejernihan suara.
Perubahan pada sel rambut luar ini terjadi sejajar dengan perubahan pada
prestin, yang merupakan protein membran, dan protein ini mungkin merupakan
protei motorik bagi sel rambut luar.
Sel rambut luar menerima persarafan kolinergik
melaui komponen eferen saraf auditorik, dan asetilkolin menyebabkan
hiperpolarisasi sel. Namun, fungsi fisiologis dari persarafan ini belum
diketahui.
B.
Definisi
Otitis adalah radang telinga, yang ditandai dengan
nyeri, demam, hilangnya pendengaran, tinitus dan vertigo. Media berarti tengah. Otitis media adalah
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustacheus, antrum
mastoid, dan sel-sel mastoid.
a. Otitis
media akut
Otitis
media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu Otiitis media akut adalah
proses infeksi yang ditentukan oleh adanya cairan di telinga atau gangguan
dengar, serta gejala penyerta lainnay tergantung berat ringannya penyakit,
antara lain : demam, iritabilitas, letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga
perforasi membrana tympani yang dapat diikuti dengan drainase purulen.
b.
Otitis media kronis
Otitis
media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi yang
berhubungan dengan patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh
episode berulang otitis media akut yang tak tertangani. (buku ajar :
ilmu penyakit telinga, kidung, tenggorok)
Otitis
media supuratif kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara khas
untuk sedikitnya satu bulan.Orang awam biasanya menyebut congek (Alfatih, 2007)
Otitis
media supuratif kronis adalah perforasi yang parmanen dari membrana timpani,
dengan atau tidak dengan perubahan permanen pada telinga tengah (www.merck.com, 2004).
Jadi,
kesimpulan dari kelompok, Otitis media supuratif kronis adalah peradangan pada
telinga bagian tengah yang sudah lebih dari 2 bulan bahkan menahun yang dapat
diakibatkan karena otitis media akut yang tak tertangani. (kelompok)
C. Etiologi
1.
Lingkungan
Hubungan
penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan
erat antara penderita dengan OMSK dan sosio ekonomi, dimana kelompok sosio ekonomi
rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal
ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal yang padat.
2.
Genetik
Faktor
genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi
belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3.
Otitis media sebelumnya.
Secara
umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut
dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi kronis.
4.
Infeksi
Bakteri
yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak bervariasi
pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif,
flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
5.
Infeksi saluran nafas atas
Banyak
penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga
tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6.
Autoimun
Penderita
dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis.
7.
Alergi
Penderita
alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun
hal ini belum terbukti kemungkinannya.
8.
Gangguan fungsi tuba eustachius.
Pada
otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui.
Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi
fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin
mengembalikan tekanan negatif menjadi normal (Kumar S, 1996).
D. Klasifikasi
OMSK
dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:
1.
Tipe tubotimpani (tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen)
Penyakit
tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain
yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran
nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan
daya tahan tubuh yang rendah, di samping itu campuran bakteri aerob dan
anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel
skuamous. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:
i)
Penyakit aktif
Pada
jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang
kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai
mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dan jarang ditemukan polip yang besar
pada liang telinga luas. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan
penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila
tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi.
ii)
Penyakit tidak aktif
Pada
pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga
tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala
lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, and atau suatu rasa penuh dalam
telinga.
2.
Tipe atikoantral ( tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang)
Pada
tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih
sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi
yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom
adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri
dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas
2 tipe yaitu kolesteatom kongenital dan kolesteatom didapat.
a.
Kolesteatom kongenital.
Kriteria
untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis (1965)
adalah:
1.
Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
2.
Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya.
3. Pada mulanya dari jaringan embrional dari epitel
skuamous atau dari epitel undiferential yang berubah menjadi epitel skuamous
selama perkembangan. Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga
tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan
fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b.
Kolesteatom didapat.
1. Primary acquired cholesteatoma.
Koelsteatom yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida
2. Secondary acquired cholesteatoma.
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang
disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa.
Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari
epitel kanal aurikula eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi
membran timpani atau kantong retraksi membran timpani pars tensa.
Oleh karena tuba tertutup terjadi retraksi dari
membrane plasida, akibat pada tempat ini terjadi deskuamasi epitel yang tidak
lepas, akan tetapi bertumpuk di sini. Lambat laun epitel ini hancur dan menjadi
kista. Kista ini tambah lama tambah besar dan tumbuh terus kedalam kavum
timpani dan membentuk kolesteatom.
1.
Perforasi sentral
Lokasi
pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior,
kadang-kadang sub total.
Terdapat
pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus.
Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.
Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan
primary acquired cholesteatoma
E. Patofosiologi
Patofisiologi OMK belum diketahui secara lengkap,
tetapi dalam hal ini merupakan stadium kronis dari otitis media akut (OMA)
dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan keluarnya sekret yang
terus menerus. Terjadinya OMK hampir selalu dimulai dengan otitis media
berulang. OMK disebabkan oleh multifaktor antara lain infeksi virus atau
bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, dan social
ekonomi.
Fokus
infeksi biasanya terjadi pada nasofaring (adenoiditis, tonsillitis, rhinitis,
sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang
infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi
membran timpani, maka terjadi inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di
dalam kantung mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan
adekuat serta perbaikan fungsi telinga tengah, biasanya proses patologis akan
berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Walaupun kadang-kadang
terbentuk jaringan granulasi atau polip ataupun terbentuk kantong abses di
dalam lipatan mukosa yang masing-masing harus dibuang, tetapi dengan
penatalaksanaan yang baik perubahan menetap pada mukosa telinga tengah jarang
terjadi. Mukosa telinga tengah mempunyai kemampuan besar untuk kembali normal.
Bila terjadi perforasi membrane timpani yang permanen, mukosa telinga tengah
akan terpapar ke telinga luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi
berulang. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan
pasien tidak sadar akan penyakitnya. Berenang, kemasukan benda yang tidak
steril ke dalam liang telinga atau karena adanya focus infeksi pada saluran
napas bagian atas akan menyebabkan infeksi eksaserbasi akut yang ditandai
dengan secret yang mukoid atau mukopurulen.
F. Manifestasi Klinis
1.
Telinga berair (otorrhoe)
Sekret
bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung
stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar
mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi
saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau
berenang. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga.
Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan
kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil,
berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga
tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret
yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip
telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret
yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2.
Gangguan pendengaran
Ini
tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya di jumpai
tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin
ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun
kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila
tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa
rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah.
Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai
tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati. Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi
perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui
jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya
labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli
saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kokhlea.
3.
Otalgia (nyeri telinga)
Nyeri
tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang
serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat
berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis
eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti
Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4.
Vertigo
Vertigo
pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo
seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat
terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan
labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam
labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat
komplikasi serebelum
5. Demam
Suhu
tubuh meningkat pada OMSK bisa disebabkan karena proses peradangan yang
diakibatkan oleh infeksi pada telinga tengah. Biasanya suhu bisa mencapai 39O
C. Dan jika tidak segera ditanganai dapat menyebabkan kejang.
6. Discharge pus
Pada
saat terjadi infeksi pada telinga, sel-sel darah putih (leukosit) akan
memberikan perlawanan pada bakteri/virus yang menginfeksi telinga. Dari
pertahanan leukosit tersebut nantinya akan terbentuk cairan yang lama kelamaan
akan terbentuk nanah.
G. Pemeriksaan
Diagnostik
Untuk
melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai berikut:
1)
Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya
didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural,
beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan
dan mobilitas sistim penghantaran suara ditelinga tengah.
Paparela,
Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli
sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala
timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang
hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada
lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan
pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan
ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau test
berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata
kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO
1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang
pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969.
Derajat
ketulian Nilai ambang pendengaran:
Normal: -10 dB sampai
26 dB
Tuli ringan: 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang: 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat: 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat: 71 dB sampai 90 dB
Tuli total: lebih dari
90 dB.
Evaluasi
audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi kohlea.
Dengan
menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta
penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat
diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah
untuk perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut
bias membantu:
1.
Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB
2.
Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30-50
dB apabila disertai perforasi.
3.
Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran di belakang membran yang masih
utuh
menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak
peduli bagaimanapun keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian pendengaran dengan
menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur dengan masking adalah
dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli campur (Boesoirie
S, 2007).
2)
Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan
radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis nilai diagnostiknya
terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan
radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil
dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang
normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom
Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah:
1. Proyeksi Schuller, yang
memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto
ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan
tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat
membantu ahli bedah untuk menghindari
dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil
dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-tulang
pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah
mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan
gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan kanalis
auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis. Proyeksi ini
menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya
pembesaran akibat kolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi
gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini
dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan
kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang
pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis
horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi jarang berdasarkan hanya dengan
hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu seperti bila dijumpai sinus lateralis
terletak lebih anterior menunjukan adanya penyakit mastoid.
3) Pemeriksaan otoskopi
Pada
pemeriksaan otoskopi dapat dibedakan jenis OMSK berdasarkan perforasi pada
membran timpani, yang terdiri dari perforasi sentral,marginal dan atik.
Gambaran yang terlihat dengan otoskopi pada perforasi sentral adalah tampak
perforasi yang letaknya sentral pada pars tensa, dapat berbentuk bundar, oval,
bentuk ginjal atau hati.Perforasinya dapat subtotal atau total, masih terlihat
pinggir membran timpani (annulus timpanikus), melalui perforasi tampak mukosa
kavum timpani bewarna pucat, bila ada eksaserbasi akut maka warna mukosamenjadi
merah dan jarang terdapat granulasi atau polip. Gambaran otoskopi pada
perforasi marginal adalah tampak perforasi yang letaknya marginal, pada pars
tensa belakang atas biasanya besar, atau pada pars flaksida muka atau belakang
(kecil), prosesnya bukan hanya pada mukosa kavum timpani dan tulang-tulang
pendengaran ikut rusak,sering terdapat granulasi atau polip, annulus timpanikus
tidak terlihat lagi dan terlihat gambaran nekrosis tulang. Sedangkan gambaran
pada perforasi atik adalah perforasi yang letaknya di pars flaksida
(Mills,1997; Telian, 2002; Kenna dan Latz, 2006).
4)
Bakteriologi
Walapun
perkembangan dari OMSK merupakan lanjutan dari mulainya infeksi akut,
bakteriologi yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang ditemukan
pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah
Pseudomonas aeruginosa, Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada
OMSA Streptokokus pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri
lain yang dijumpai pada OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri
anaerob adalah Bacteriodes sp. Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan
berasal dari hidung, sinus parasanal, adenoid atau faring. Dalam hal ini
penyebab biasanya adalah pneumokokus, streptokokus, atau hemofilius influenza.
Tetapi pada OMSK keadaan ini agak berbeda. Karena adanya perforasi membran
timpani, infeksi lebih sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi
tadi
H. Penatalaksanaan
Penyebab
penyakit telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor
penyebabnya dan pada stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatom, maka
mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat
digunakan
untuk mengontrol infeksi sebelum operasi. Prinsip pengobatan tergantung dari
jenis penyakit dan luasnya infeksi, di mana pengobatan dapat dibagi atas:
1.
Konservatif
2.
Operasi
1. OMSK BENIGNA
a.
OMSK BENIGNA TENANG
Keadaan
ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan mengorek
telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas
memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (Miringoplasti,
timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.
b.
OMSK BENIGNA AKTIF
Prinsip
pengobatan OMSK adalah pembersihan liang telinga dan kavum timpani serta
pemberian antibiotika
1.
Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (toilet telinga)
Tujuan toilet telinga adalah membuat lingkungan yang
tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan
media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme (Fairbank, 1981).
Cara pembersihan liang telinga (toilet telinga):
1.
Toilet telinga secara kering ( dry
mopping).
Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril,
setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini
sebaiknya dilakukan diklinik atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga.
Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
2.
Toilet telinga secara basah ( syringing)
Telinga disemprot dengan caian untuk membuang debris
dan nanah, kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik.
Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi
dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan kemastoid ( Beasles,
1979). Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan
reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk
antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
3.
Toilet telinga dengan pengisapan
(suction toilet)
Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan
bantuan mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini.
Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang berproliferasi dan polipoid sehingga
sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan
resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan tanpa
anastesi tetapi pada anakanak diperlukan anastesi. Pencucian telinga dengan
H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan “ displacement methode”
seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2. Pemberian antibiotik topikal
Terdapat perbedaan
pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotik topikal untuk OMSK. Pemberian
antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan
dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid..Cara
pemilihan antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab
dan uji resistesni.
Obat-obatan topikal dapat
berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga
dibersihkan dahulu.
Bubuk telinga yang
digunakan seperti :
a. Acidum boricum dengan
atau tanpa iodine
b. Terramycin.
c. Asidum borikum 2,5 gram
dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotik
topikal dapat digunakan secara luas untuk OMK aktif yang dikombinasi dengan
pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat melawan kuman
Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob
dan mempunyai kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya
resistensi. Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram
negatif tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif (Fairbanks, 1984).
Seperti aminoglokosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif
melawan basil gram negatif dan gentamisin kerjanya “sedang” dalam melawan
Streptokokus. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif melawan kuman
anaerob.
Biasanya tetes telinga
mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan hidrokortison, bila sensitif
dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes mata.
Kloramfenikol tetes
telinga tersedia dalam acid carrier dan telinga akan sakit bila diteteskan.
Kloramfenikol aktif melawan basil gram positif dan gram negative kecuali
Pseudomonas aeruginosa, tetapi juga efektif melawan kuman anaerob, khususnya B.
Fragilis. Pemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung
aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.
Antibiotika topikal yang
dapat dipakai pada otitis media kronik adalah
1. Polimiksin B atau
polimiksin E
Obat ini bersifat
bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla,
Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis
Toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuma gram positif dan
negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob
dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat
bakterisid terhadap :
Stafilokokus, koagulase
positif, 99%
Stafilokokus, koagulase
positif, 95%
Stafilokokus group A, 100%
E.Koli, 96%
Proteus sp,
60%
Proteus mirabilis,
90%
Klebsiella,
92%
Enterobakter,
93%
Pseudomonas,
5%
Dari penelitian terhadap
50 penderita OMSK yang diberi obat tetes telinga dengan ofloksasin dimana
didapat 88,96% sembuh, membaik 8,69% dan tidak ada perbaikan 4,53%
3.
Pemberian antibiotik sistemik
Pemilihan
antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman
penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu
diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dalam
pengunaan antimikroba, sedikitnya perlu diketahui daya bunuhnya terhadap
masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap
masing-masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing jaringan
tubuh, toksisitas obat terhadap kondisi tubuhnya . dengan melihat konsentrasi
obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2
golongan. Golongan pertama daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi
kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida
dengan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi
tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh
antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi
antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah :
Kuman
aerob Antibiotik sistemik, Pseudomonas Aminoglikosida atau karbenisilin, P.
Mirabilis Ampisilin atau sefalosforin, P. Morganii Aminoglikosida atau Karbenisilin,
P. Vulgaris, Klebsiella Sefalosforin atau aminoglikosida, E. Koli Ampisilin
atau sefalosforin, S. Aureus Anti-stafilikokus penisilin, Sefalosforin,
eritromosin, aminoglikosida, Streptokokus Penisilin, sefalosforin, eritromisin,
Aminoglikosida, B. fragilis Klindamisin
Antibiotika
golongan kuinolon ( siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam
nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan
peroral. Tetapi tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan
sefalosforin generasi III ( sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif
terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi ini
sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMK belum pasti cukup, meskipun dapat
mengatasi OMK.
Metronidazol
mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Menurut Browsing dkk
metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik ( sefaleksin dan
kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200
mg per 8 jam selama 2-4 minggu1.
2.
OMSK MALIGNA
Pengobatan
yang tepat untuk OMK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan
tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
Tujuan
operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran
timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan
pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran
Ada
beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMK
dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain
(Soepardi, 2001):
•
Mastoidektomi sederhana
Dilakukan
pada OMK tipe benigna yang tidak sembuh dengan pengobatan konservatif. Pada
tindakan ini dilakukan pembersihan ruang mastoid dari jaringan patologik,
dengan tujuan agar infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi.
•
Mastoidektomi radikal
Dilakukan
pada OMK maligna dengan infeksi atau kolesteatom yang sudah meluas.Pada operasi
ini rongga mastoid dan kavum timpani dibersihkan dari semua jaringan patologik.
Dinding batas antara liang telinga luar dan telinga tengah dengan rongga
mastoid diruntuhkan, sehingga ketiga daerah anatomi tersebut menjadi satu
ruangan. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua jaringan patologik dan
mencegah komplikasi ke intrakranial.
•
Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)
Dilakukan
pada OMK dengan kolesteatom di daerah attic, tetapi belum merusak kavum
timpani. Seluruh rongga mastoid dibersihkan dan dinding posterior liang telinga
direndahkan. Tujuan operasi adalah untuk membuang semua jaringan patologik dari
rongga mastoid dan mempertahankan pendengaran yang masih ada.
•
Miringoplasti
Dilakukan
pada OMK tipe benigna yang sudah tenang dengan ketulian ringan yang hanya
disebabkan oleh perforasi membran timpani. Operasi ini merupakan jenis
timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga dengan nama timpanoplasti tipe
1. Rekonstruksi hanya dilakukan pada membran timpani. Tujuan operasi adalah
untuk mencegah berulangnya infeksi telinga tengah ada OMSK tipe benigna dengan
perforasi yang menetap.
•
Timpanoplasti
Dikerjakan
pada OMK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe benigna
yang tidak bisa diatasi dengan pengobatan medikamentosa. Tujuan operasi adalah
menyembuhkan penyakit serta memperbaiki pendengaran. Pada operasi ini selain
rekonstruksi membran timpani seringkali harus dilakukan juga rekonstruksi
tulang pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang yang dilakukan maka
dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV dan V.
•
Timpanoplasti dengan pendekatan ganda (Combined Approach Tympanoplasty)
Dikerjakan
pada kasus OMK tipe maligna atau OMK tipe benigna dengan jaringan granulasi
yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta memperbaiki
pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa meruntuhkan
dinding posterior liang telinga). Yang dimaksud dengan combined approach di
sini adalah membersihkan kolesteatom dan jaringan granulasi di kavum timpani
melalui dua jalan, yaitu liang telinga dan rongga mastoid dengan melakukan
timpanotomi posterior. Namun teknik operasi ini pada OMK tipe maligna belum
disepakati oleh para ahli karena sering timbul kembali kolesteatoma.
II. ASUHAN KEPERAWATAN
pada PASIEN OMP
A.
Pengkajian
BIODATA KLIEN
Nama : An. Z
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. Register : 1330091193
Alamat : Jalan melati no 10 blok A kec. asmara kab. Bogor
Status Perkawinan : belum kawin
Keluarga Terdekat : Orang Tua
Diagnosa Medis : Otitis
media perforata (OMP)
ANAMNESE
1.
Riwayat
keperawatan
a. Riwayat
kesehatan sekarang :
Keluhan Utama : keluhan telinga bagian sebelah sinistra
suka mengeluarkan cairan sudah sebulan berlangsung sudah ke dokter tapi belum
ada perubahan. Keluhan lain yang suka dirasakan serangan vertigo hebat
kadang-kadang muncul
b. Riwayat
Kesehatan masa lalu :
1. Riwayat alergi (obat, makanan, binatang, lingkungan)
Klien tidak pernah mempunyai riwayat alergi obat,makanan,binatang,dan lingkungan.
2. Riwayat kecelakaan
Klien tidak pernah mengalami riwayat kecelakaan sebelumnya
3. Riwayat dirawat di Rumah Sakit (kapan, alasan, berapa lama)
Klien baru pertama kali datang ke rumah sakit pada tanggal 09 mei 2013
karena keluhan pada telinga.
4. Riwayat pemakaian obat
Klien tidak pernah memakai obat dalam jangka waktu yang lama.
5. Riwayat trauma kepala.
Klien tidak pernah
mengalami trauma pada
kepala
6. Sejak kapan keluhan dirasakan.
Mengeluh nyeri telinga
sudah 1 bulan.
7. Kaji TTV dasar.
Untuk
perbandingan dengan hasil pemeriksaan yang akan datang.
8. Kaji pertumbuhan klien.
Timbang
dan ukur BB, TB klien.
9. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Keluarga klien tidak pernah
ada riwayat penyakit seperti ini sebelumnya
2.
Pemeriksaan Fisik Umum
1. Berat badan sekarang : 39,5 kg
2. Berat badan sebelum sakit : 40kg
3. Tinggi badan :
145 cm
4. Tekanan darah : 110/90mmHg (normal: 120/80 mmHg)
5. Nadi : 72 x/menit (normal: 60-100 x/menit)
6. Frekuensi nafas : 24 x/menit (normal: 12-24 x/menit)
7. Suhu tubuh :
39 oC (normal: 36-37,5o
C)
3. a. Pemeriksaan Fisik
Keluhan utama dapat berupa :
1.Gangguan pendengaran/pekak.
Bila ada keluhan gangguan pendengaran, perlu ditanyakan :
1.Gangguan pendengaran/pekak.
Bila ada keluhan gangguan pendengaran, perlu ditanyakan :
-
Apakah keluhan tsb. pada satu telinga atau kedua
telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah secara bertahap dan sudah berapa
lamanya.
-
Apakah ada riwayat trauma kepala, telinga tertampar,
trauma akustik atau pemakaian obat ototoksik sebelumnya
-
Apakah sebelumnya pernah menderita penyakit infeksi
virus seperti parotitis, influensa berat dan meningitis.
-
Apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi ,
atau pada tempat yang bising atau pada tenpat yang tenang.
2.
Suara berdenging/berdengung (tinitus)
-
Keluhan telinga berbunyi dapat berupa suara berdengung
atau berdenging yang dirasakan di kepala
atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga.
-
Apakah tinitus ini menyertai gangguan pendengaran.
3. Rasa pusing yang berputar (vertigo).
- Dapat sebagai keluhan gangguan keseimbangan
dan rasa ingin jatuh.
-
Apakah keluhan
ini timbul pada posisi kepala tertentu dan berkurang bila pasien berbaring dan
timbul lagi bila bangun dnegan gerakan cepat
-
Apakah keluhan vertigo ini disertai mual, muntah, rasa
penuh di telinga dan telinga berdenging yang mungkin kelainannya terdapat di
labirin atau disertai keluhan neurologis seperti disentri, gangguan penglihatan
yang mungkin letak kelainannya di sentral. Kadang-kadang keluhan vertigo akan
timbul bila ada kekakuan pergerakan otot-oto leher. Penyakit DM, hipertensi,
arteriosklerosis, penyakit jantung, anemia, kanker, sifilis, dapat menimbulkan
keluhan vertigo dan tinitus.
4. Rasa nyeri di dalam telinga (Otalgia)
-
Apakah pada telinga kiri/kanan dan sudah berapa lama.
-
Nyeri alihan ke telinga dapat berasal dari rasa nyeri
gigi, sendi mulut, tonsil, atau tulang servikal karena telinga di sarafi oleh
saraf sensoris yang berasal dari organ-organ tersebut.
5. Keluar cairan dari telinga (otore)
-
Apakah sekret keluar dari satu atau kedua telinga,
disertai rasa sakit atau tidak dan sudah berapa lama.
-
Sekret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi
telinga luar dan sekret yang banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari
teklinga tengah. Bila berbau busuk menandakan adanya kolesteatom. Bila
bercampur darah harus dicurigai adanya infeksi akut yang berat atau tumor. Bila
cairan yang keluar seperti air jernih harus waspada adanya cairan liquor
serebrospinal.
b. Tes audiometrik.
Merupakan
pemeriksaan fungsi untuk mengetahui sensitivitas (mampu mendengar suara) dan
perbedaan kata-kata (kemampuan membedakan bunyi kata-kata), dilaksanakan dnegan
bantuan audiometrik.
B.
Diagnosa Keperawatan
No.
|
Diagnosa Keperawatan
|
1
|
Nyeri b.d Penekanan membran timpani oleh peradangan
|
2
|
Perubahan perfepsi / sensori b.d
obstruksi, infeksi ditelinga / kerusakan di syaraf pendengaran
|
3
|
Gangguan komunikasi b.d perubahan
degeneratif : efek kehilangan pendengaran
|
C.
Intervensi Keperawatan
No.
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
Intervensi dan Rasional
|
1.
|
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan masalah nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil :
- Pasien tampak rileks,
- dapat beristirahat/tidur dan
melakukan pergerakkan yang berarti sesuai toleransi.
- Skala nyeri berkurang
|
1. Kaji tingkat
nyeri, lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 1-10).
Rasional:
Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesik.
2. Beri posisi nyaman
Rasional:Menurunkan
ketegangan otot, menaikkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3. Bantu penggunaan teknik relaksasi.
Rasional:
Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali
perhatian sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
4. Bantu pasien
melakukan latihan rentang gerak dan dorong ambulasi dini, hindari duduk lama.
Rasional:
Menurunkan kekakuan otot/sendi.
5.Ambulasi
mengembalikan organ ke posisi normal dan meningkatkan kembali fungsi ke
tingkat normal.
Rasional:
Ambulasi dan perubahan posisi menurunkan tekanan perianal.
kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
(analgesik).
Rasional: Menurunkan nyeri,
meningkatkan kenyamanan.
|
2.
|
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan masalah perubahan persepsi/ sensori dapat teratasi dengan
kriteria hasil :
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan
- Pasien
akan mempertahankan kemampuan pendengaran
- Tidak
adanya sakit kepala
|
1. Kaji tentang ketajaman pendengaran
Rasional
:
Menentukan seberapa baik tingkat pendengaran klien
2. Bantu pasien berfokus pada semua bunyi di
lingkungan dan membicarakannya hal tersebut
Rasional
: Untuk
memaksimalkan pendengaran
3. Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat
alat pendengaran secara tepat.
Rasional
: Keefektifan
alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya
yang tepat.
4.
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga
dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
Rasional
: Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif,
maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga
harus dilindungi.
5. Observasi tanda-tanda awal kehilangan
pendengaran yang lanjut.
Rasional
: Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap
masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
6.
Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang
diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional
: Penghentian
terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa
berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.
Kolaborasi
Diskusikan tipe alat bantu dengar dan perawatannya
yang tepat dengan dokter atau perawat
Rasional:
Untuk
menjamin keuntungan maksimal
|
3.
|
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan masalah gangguan komunikasi dapat teratasi dengan kriteria
hasil :
- Memakai alat bantu
dengar (jika sesuai).
- Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal: komunikasi tulisan, bahasalambang,berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
- mendemonstrasikan
komunikasi verbal dan nonverbal kongruen.
|
Mandiri
1. Kaji
alasan kurangnya komunikasi, termasuk fungsi SSF dan neuromuskular, refleks
gag/ menelan, mendengar, masalah gigi/ mulut.
Rasional : identifikasi
masalah pentinguntuk intervensi yang tepat. Kadang0-kadang pasien tidak ingin
bicara, mungkinberfikir mereka bicara padahal tida, berharap orang lain
mengetahui apakah mereka menginginkan, tidak mampu untuk memahami/ mengerti
2. Periksa adanya serumen berlebih
Rasional: pengerasan
lilin telinga dapat menurunkan ketajaman pendengaran dan dan menyebabkan
tinitus.
3. Pastikan
bila pasien mempunyai / menggunakan alat bantu dengar
Rasional: pasien
mungkin mempunyai tetapi tidak menggunakan alat bantu dengar (mis, mungkin
tidak tepat ukuran, mungkin memerlukan baterai)
4. Sadari
bahwa sadari bahwa masalah perilaku dapat menunjukan kehilangan pendengaran.
Rasional :
marah, marah yang meledak-ledak, frustasi, malu, depresi, menarik diri dan
paranoia mungkin upaya untuk menghadapi masalah komunikasi.
5. Tentukan
apakah pasien menggunakan bahasa bilingual atau bahasa tertentu saja.
Rasional : pada
penurunan fungsi serebral / penurunan proses pikir, peningkatan tingkat
stres, pasien dapat mencampur bahasa / kembali ke bahasa asal.
Kolaborasi
Rujuk pada terapi wicara, dokter
THT atau untuk audiometri sesuai kebutuhan untuk menentukan luasnya penurunan
pendengaran dan apakah alat bantu dengar yang tepat digunakan.
|
Daftar
pustaka
Al Fatih, Muhammad Otitis Media
Akut, di unduh dari http://hennykartika.wordpress.com/category/telinga/ tanggal
18 Februari 2010 ; 12.31 WIB
Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62
Helmi. Komplikasi otitis media
supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta:
FKUI, 2001. h. 63-73
Rothrock,
C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar