KEYAKINAN DAN HARAPAN MELAKUKAN LEBIH BAIK DARIPADA OBAT

Selasa, 22 Oktober 2013

SISTEM ENDOKRIN (STRUMA)

STRUMA

1. Defenisi
        Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid dalam jumlah banyak sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar-debar, keringat, gemetaran, bicara jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan hipertiroid.
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).

2. Etiologi
        Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor   penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi Iodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang  kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).

3. Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior (cabang dari Arteri Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang Arteri Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2001).

Hormon tiroid menghasilkan :
a. T4 (Tiroxine), berfungsi untuk mempertahankan metabolisme tubuh.
b. T3 (Tridothyronin), berfungsi ntuk mempercepat metabolisme tubuh.

4. Patofisiologi
        Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul Triodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
        Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3',5' triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001).
Description: metabolisme_struma_tsh_t3_t4
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
  1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

    Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
  2. TSH (thyroid stimulating hormone)

    Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
  3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

    Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
  4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

    Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)
  1. Kalorigenik
  2. Termoregulasi
  3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
  4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
  5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
  6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
  7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
5. Tanda dan Gejala
a. Berdebar-debar
b. Keringat
c. Gemetaran
d. Bicara jadi gagap
e. Mencret
f. Berat badan menurun
g. Mata membesar

6. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
b. Scanning Tiroid
c. USG
d. Radiology Thorax


7. Penatalaksanaan
      Tidak selalu harus semua kasus ditangani dengan operasi. Tindakan pembedahan dikerjakan dengan alasan; adanya nodule atau benjolan tunggal di salah satu bagian anatomis kelenjar tersebut yang dikhawatirkan bisa berkembang menjadi ganas. Adanya multi nodul – banyak benjolan - yang berat, penekanan terhadap saluran nafas dan dengan alasan estetik atau penampilan diri seseorang yang mengalami pembesaran di bagian leher depan itu. Tentu operasi dikerjakan setelah syarat-syaratnya terpenuhi termasuk hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan fungsi kelenjar thyroid ini yang sebisa mungkin tidak sedang mengalami gangguan (hyper atau hipothyroid). Untuk menurunkan kadar hormone thyroksin dapat diberikan obat-obatan yang bisa menekan thyroid agar tidak memproduksi hormone yang berlebihan.
      Pembedahan kelenjar thyroid disebut thyroidectomi. Pada pelaksanaannya ada yang mengangkat sebagian kelenjar (hemithyroidectomi, subtotal thyroidectomi, isthmolobectomi), keseluruhan (total thyroidectomi) atau bisa juga radikal thyroidectomi pada kasus kanker. Pemilihan itu tergantung dari kasus atau kelainan yang dijumpai. Pengaturan hormon tubuh jika thyroid diangkat total dapat digantikan dengan obat yang berfungsi seperti hormone tiroksin yang mesti teratur diminum sepanjang hidup.

8. Asuhan Keperawatan Secara Teoritis
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
1. Aktivitas/istirahat ; insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
2. Eliminasi ; urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
3. Integritas ego ; mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
4. Makanan/cairan ; kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah,
pembesaran tyroid, goiter.
5. Rasa nyeri/kenyamanan ; nyeri orbital, fotofobia.
6. Pernafasan ; frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
7. Keamanan ; tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
8. Seksualitas ; libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
Diagnosa :
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
Intervensi :
Dx 1 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi
1. Kaji fungsi bicara secara periodik.
Rasional :
Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
2. Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.
Rasional :
Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.
3. Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.
Rasional :
Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
4. Pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional :
Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.
Dx 2 : Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Menunjukkan tidak ada cedera dengan
komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
1. Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
2. Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
3. Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
4. Kolaborasi dengan tim dokter, dengan memberikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.
Dx 3 : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil : Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
1. Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
2. Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
3. Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
4. Kolaborasi dengan tim dokter dalam memberikan obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.
Rasional :
Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.

9.      Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan), Menurut American society for Study of Goiter membagi :
  1. Struma Non Toxic Diffusa
  2. Struma Non Toxic Nodusa
  3. Stuma Toxic Diffusa
  4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
  1. Struma non toxic nodusa
    Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
    1. Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
      1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
      2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada pre-existing penyakit tiroid autoimun
      3. Goitrogen :
        1. Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
        2. Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
        3. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar
      4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
      5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
  2. Struma Non Toxic Diffusa
    1. Etiologi: (Mulinda, 2005)
      1. Defisiensi Iodium
      2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
      3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid.
      4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
      5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon tiroid.
      6. Terpapar radiasi
      7. Penyakit deposisi
      8. Resistensi hormon tiroid
      9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
      10. Silent thyroiditis
      11. Agen-agen infeksi
      12. Suppuratif Akut : bacterial
      13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
      14. Keganasan Tiroid
  3. Struma Toxic Nodusa
    1. Etiologi : (Davis, 2005)
      1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
      2. Aktivasi reseptor TSH
      3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
      4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk: Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
  4. Struma Toxic Diffusa

    Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya (Adediji,2004)
    1. Patofisiologi :

      Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa
      . (Mulinda, 2005)

      Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)

      Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar